Plato: Manusia dan Dualisme

Oleh: Agit Yogi Subandi

 

PlatoPlato dalam filsafatnya membagi dunia ini menjadi dua: kenyataan (fenomen atau sering disebut juga partikula, zat, atau bahan atau benda) dan ideal (eidos, forma, atau idea), dan ini disebut dualisme. Begitu juga pandangannya tentang manusia, seperti sudah dibahas dalam tulisan sebelumnya, bahwa Plato memandang manusia sebagai tubuh dan jiwa. Tubuh diartikan sebagai sebuah fenomen atau disebut juga sebagai ‘ada’, sedangkan jiwa diartikan sebagai sesuatu yang berada di dunia ideal, kekal dan menggerakan fenomen.

Plato dalam buku Republic, Buku VII, memberikan sebuah analogi, yaitu tentang sekelompok manusia yang terpenjara di dalam gua sejak masa kanak-kanak mereka. Leher dan kaki mereka dibelenggu sehingga tidak mampu memandang pintu gua.  Terdapat tabir di belakang mereka. Wajah mereka diarahkan ke dinding dan hanya dapat melihat bayangan yang terpantul di dinding. Di dinding itu ada bayangan orang-orang mengangkat patung dan pola berbagai benda yang membias di dinding itu yang berasal dari cahaya api besar.

Stephen Palmquis memberi penjelasan mengenai analogi ini. Gua itu melambangkan dunia tempat kita hidup, dan orang-orang yang dibelenggu itu melambangkan orang-orang yang belum pernah berfilsafat. Dari analogi tersebut dapat kita tangkap maknanya, bahwa orang-orang yang berada di dalam gua itu, hanya bisa melihat objek-objek itu yang semu di dalam gua, mereka hanya bisa melihat bayangan-bayangan dari forma sejati yang memberikan penampakan-penambakan. Sederhananya adalah, mereka mengira, bahwa apa yang mereka lihat adalah objek yang nyata.

Analogi ini menyampaikan Plato pada pemikirannya tentang manusia. Menurutnya, jika dunia material merupakan khayalan, maka raga manusia tentu saja bukan realitas penentu hakikat manusia. Menurut Plato, justru raga itulah yang membelenggu kita di dalam ‘gua’, membatasi penglihatan kita yang hanya sampai kepada bayangan dari realitas sesungguhnya. Realitas sejati, menurut Plato, dalam konteks manusia, adalah jiwa. Jiwa terpenjara dalam raga manakala seorang manusia lahir ke dunia ini. Jiwa itu akan selalu eksis. Jiwa itu kekal. Pertanyaannya adalah, di manakah jiwa kita sebelum lahir? Menurut Plato, jiwa kita dalam forma kekalnya, yaitu berada di alam idea. Di alam ini juga jiwa kita kembali ketika meninggal dunia.

Jiwa menurut Plato, ada tiga bagian. Pertama, ‘Selera’ (yang merupakan bagian terendah dan berhubungan dengan perut). Kedua, ‘Akal’ (yang merupakan bagian tertinggi dan berhubungan dengan kepala). Ketiga, ‘Rohani’ (yang merupakan bagian penengah dan berkorelasi dengan hati).

Jadi, menurut Plato, dalam konteks manusia, yang menggerakan tubuh itu adalah jiwa. Dalam kehidupan sehari-hari, kita menganggap bahwa realitas adalah apa yang nampak, tapi menurut Plato, justru sebaliknya, apa yang terlihat itu bukanlah realitas yang sebenarnya. Realitas yang sebenarnya adalah apa yang ada di dalam jiwa. Sebagai contoh, dalam konteks ‘akal’. Jika kita melihat sebuah kipas angin yang berputar dan membuat sejuk di waktu cuaca sedang panas, maka sebenarnya itu bukanlah realitas aslinya, melainkan itu adalah wujud dari idea yang menjadi realitas sebenarnya. Jadi kipas angin itu eksis karena adanya idea tentang kipas angin.

Dalam konteks ‘Rohani’, seseorang lelaki yang mencintai seorang perempuan. Seorang lelaki mencintai seorang perempuan dengan cara memberikan dia sesuatu, memberi hadiah, kemudian ingin selalu berjalan dengannya dan bahkan ingin sehidup semati dengan perempuan itu. Semua itu adalah bentuk-bentuk dari mencintai, tetapi apa yang membuat hal itu terwujud, atau dorongan apa yang membuat hal itu terwujud? Menurut Plato, yaitu jiwa kitalah yang mendorong adanya wujud-wujud itu.

Jadi menurut Plato, kenyataan, fenomen atau sering disebut juga partikula, zat, atau bahan atau benda, itu digerakkan oleh realitas sejati, yaitu yang disebut sebagai ideal atau eidos, forma, atau idea. Pembagian ini disebut sebagai dualisme. Sebuah entitas yang yang satu, yang sesungguhnya terdiri dari dua substansi.

Referensi:

Stephen Palmquis, Pohon Filsafat, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2007.

Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1988.

 

 

Satu tanggapan untuk “Plato: Manusia dan Dualisme

Tinggalkan komentar